Ronita, S. Pd (pegiat literasi)
KASUS FEMISIDA HARI INI MEREBAK. KORBANNYA ADALAH WANITA, YANG DIANGGAP WAJAR MENDAPAT PERLAKUAN SEPERTI PENYIKSAAN SEKSUAL, PENYIKSAAN FISIK HINGGA BERUJUNG MAUT. BERBAGAI ELEMEN PUN BAHU MEMBAHU MENUNTASKAN PERMASALAHAN INI, NAMUN TETAP TAK KUNJUNG SELESAI. ADAKAH SOLUSI ALTERNATIF YANG BAIK YANG BISA MENUNTASKAN KASUS FEMISIDA INI?.
Di awal Januari 2023, masyarakat di Penjaringan Jakarta Utara dibuat bergidik dengan aksi nekat seorang pria berinisial MR (43) yang membakar kedua mantan istrinya ketika dia mendapati kedua mantan istrinya itu lagi duduk-duduk berdua di tepi sungai. Salah satu di antaranya harus meregang nyawa dan yang lain mengalami luka bakar sekitar 60℅. Kasus serupa juga ditemukan terjadi di bulan berikutnya, Februari 2023. Terjadi di daerah Pandeglang, Banten. Aksi kejam RA (23) yang tega menghabisi nyawa kekasihnya dengan menghantam kekasihnya menggunakan kloset.
Adalagi kasus yang menimpa seorang istri malang berinisial MS (24) di rumah kontrakan di desa Sukadanau, Cikarang Barat, kabupaten Bekasi pada Kamis, 7 September 2023. Ia dibunuh dengan keji oleh suaminya sendiri dengan alasan suaminya sakit hati karena kerap dimaki oleh sang istri karena kebutuhan ekonomi keluarga yang kurang. (tirto.id – 11 Oktober 2023).
Semua ini adalah kasus-kasus kekerasan terhadap wanita yang kemudian diklasifikasikan sebagai kasus femisida. Masih banyak kasus-kasus serupa di luar sana yang luput dari rekam jejak media. Kasus yang anyar terjadi dan viral karena melibatkan anak seorang anggota DPR RI salah satu anggota fraksi PKB, Gregorius Ronald Tannur (31) yang menganiaya dengan kejam kekasihnya Dini Sera Afrianti (28) dan berujung pada kematian kekasihnya saat dilarikan ke RS. Nyawanya tak tertolong akibat luka di kepala dan kekerasan yang dialaminya.
Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Pasma Royce menyebutkan Ronald terjerat pasal berlapis berdasarkan fakta kejadian dan alat bukti. Pasal 351 ayat 3 dan pasal 359 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun.
Komnas perempuan menyatakan bahwa femisida merupakan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap wanita yang dilakukan secara sengaja. Pembunuhan itu bisa didorong oleh rasa cemburunya, memiliki, superioritas, dominasi, dan kepuasan sadistik terhadap wanita.
Data Komnas perempuan diperoleh dari pantauan media, dalam rentang waktu September 2020 hingga pertengahan Agustus 2021 terjadi 421 kasus femisida. Ini hanya dari data yang terpantau media. Pasalnya masih banyak kasus femisida yang tidak terpantau media sebab tidak dilaporkan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahkan mencatat ada 457.895 kasus femisida sepanjang tahun 2022. Catatan ini diperoleh dari data 137 Lembaga Layanan dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama ( BADILAG). Jika dikalkulasi rata-rata ada 9 kasus perhari. (CNN Indonesia, 26/05/2023).
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, mengatakan bahwa femisida itu merupakan kekerasan atau perlakuan atau jenis kekejaman yang terjadi pada perempuan baik anak perempuan atau dewasa. Jadi perempuan itu dianggap kaum yang wajar menerima kekerasan. (tirto.id. Selasa, 10/9/2023).
Lanjutnya, penanganan kasus-kasus femisida masih belum efektif di Indonesia. Pasalnya, hukumannya masih umum.
Femisida dipandang bukanlah pembunuhan biasa pada umumnya. Karena femisida didorong oleh budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi baik di ranah privat, masyarakat maupun negara.
Bedasarkan sidang umum dewan HAM PBB, pengertian femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. (detiknews. 12/02/2023).
Nasib wanita dalam sistem sekuler kapitalis hari ini sungguh mengenaskan. Sebagian besar mereka memilih menerima kenyataan bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh laki-laki yang dianggap sebagai pelindungnya. Mereka tak punya pilihan tempat yang tepat untuk mengadukan apa yang menimpa mereka, meskipun ada berbagai elemen masyarakat dan negara yang membuka ruang pengaduan tetapi tetap saja lebih banyak yang memilih diam.
Langkah yang disarankan untuk dilakukan saat terjadi kasus femisida pun seolah berjalan di tempat. Tak ada satupun langkah yang bisa diambil kecuali ketika kasus femisida ini sudah pada tahap meregangnya nyawa seorang wanita dan akhirnya meninggal tanpa sempat diselamatkan. Tidak ada jaminan pasti keamanan yang diberikan oleh negara di saat ranah privat misal keluarga, dan ranah publik masyarakat juga tak mampu membendung aksi femisida ini.
Maka, pengklasifikasian pembunuhan terhadap wanita ini dianggap sebagai kasus femisida pun tak berguna. Hanya jadi makanan empuk para penganut feminisme/kesetaraan gender untuk lebih mendesak kaum pria dan menyudutkannya. Padahal, justru adanya wanita dan pria ini sebagai harmonisasi yang diciptakan Tuhan agar hidup bisa berjalan serasi dan seimbang, bukan saling mendominasi.
Seharusnya kita mencari alternatif solusi yang solutif yang bisa menuntaskan seluruh problematika manusia baik pria atau wanita.
Mari sejenak kita menengok bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Dalam Islam, aturan turun dalam bentuk yang menyeluruh ( komprehensif).
Tak ada satupun masalah yang tidak selesai jika Islam dijadikan sebagai problem solving. Bukankah wanita adalah bagian dari masyarakat. Maka kedudukannya di hadapan hukum sama dengan pria. Ada beberapa aturan Islam yang berlaku umum pada pria atau wanita misalnya perintah sholat. Namun ada juga aturan Islam yang khusus mengatur wanita misalnya perintah menutup aurat. Wanita dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia karena dijaga kehormatannya. Sebagaimana hadits Rasulullah yang menyebut “ibumu” sampai 3 kali ketika ada seorang laki-laki yang bertanya siapakah yang harus terlebih dahulu aku hormati. Setelah pertanyaan keempat barulah Rasulullah menyebut “ayahmu”.
Hal penghormatan kepada wanita terus berlaku sepanjang sejarah Islam, dan sangat jarang ditemui ada kasus pelecehan apalagi kasus-kasus femisida yang seperti terjadi hari ini. Dalam sejarah Islam pada masa bani Abbasiyah, khalifah Mu’tashim Billah melakukan pembelaan terhadap seorang wanita. Bagaimana kisah seorang pemimpin yang bisa menjadi contoh baik bagi para pemimpin untuk segera bertindak cepat saat merespon ada tindakan semena-mena terjadi pada rakyatnya termasuk wanita. Kisah masyhur ini ditulis dan diabadikan sebagai latar belakang penaklukan kota Ammuriah (wilayah Turki) di tahun 223 M/837M.
Ada seorang wanita dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar. Ketika itu, seorang pria Romawi melecehkannya dengan mengaitkan bagian bawah pakaiannya ke paku, sehingga saat berdiri aurat wanita ini tersingkap sebagian. Betapa malunya wanita tadi dan berteriak menyeru “waa Mu’tashimah” Yang artinya ” Dimana engkau wahai Mu’tashim”.
Maka ketika sampai kabar itu di telinga khalifah Mu’tashim, maka beliau segera memerintahkan pasukannya untuk menyerbu kota Ammuriah. Barisan pasukan sangat panjang. Pasukannya berbaris dari mulai gerbang istana di Baghdad (Irak) hingga sampai di Ammuriah (Turki). Akhirnya setelah berperang selama 5 bulan akhir nya kota Ammuriah dibebaskan dari kekuasaan Romawi. Dan lelaki yang melecehkan wanita Bani Hasyim itu dijadikan budak wanita tersebut. Betapa khalifah sangat menghormati dan memuliakan wanita dengan menjaga kehormatan nya. Padahal wanita tersebut sekedar dilecehkan. Bagaimana jika terjadi seperti kasus femisida hari ini?. Tentu akan ada tindakan yang lebih tegas. Kasus pembunuhan, apakah itu korbannya lelaki atau wanita tetap akan berlaku bukum qishosh yaitu hukuman pembalasan kepada pelaku yang menganiaya atau membunuh dengan sengaja. Balasan hukumnya serupa dengan apa yang dilakukannya terhadap korban. Kasus femisida pasti akan tuntas jika diberlakukan hukum ini. Pasalnya sanksi hukum dalam Islam berfungsi sebagai jawabir ( penebus dosa bagi pelaku) dan zawajir (pencegah bagi yang lain untuk melakukan hal yang sama). Sehingga pemberlakuan hukum tegas seperti ini akan mencegah merebaknya kasus femisida hari ini.