Oleh : Asmawati, SP
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus. Itu terjadi sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023.
Dari 9.645 kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak tersebut, korban anak perempuan mencapai 8.615 kasus. Sementara jumlah korban anak laki-laki sebanyak 1.832 kasus. Jika diperinci berdasarkan jenisnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak menduduki peringkat pertama dengan 4.280 kasus. Lalu diikuti kekerasan fisik 3.152 kasus dan kekerasan psikis 3.053 kasus.
Pemerhati Sosial, Asmawati, SP mengungkapkan berdasarkan data terbaru yang dihimpun, kasus pemerkosaan terhadap seorang remaja putri berusia 16 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, menjadi atensi serius bagi Bareskrim Polri. Karo Penmas Div Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengaku bakal mengusut tuntas kasus pemerkosaan ABG berusia 16 tahun yang dilakukan secara keji oleh 10 pria di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Polri akan memastikan kasus itu ditangani sampai tuntas, tegas Brigjen Ahmad Ramadhan, dikutip Minggu, 4 Juni 2023. Ia juga memastikan kasus tersebut akan ditangani secara profesional dan tidak akan ada yang ditutup-tutupi.
Lebih lanjut menjelaskan dalam momentum Hari Pendidikan Nasional 2023 ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis data selama rentang Januari—Mei 2023, terjadi 22 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan jumlah korban sebanyak 202 anak. Pendataan ini dilakukan, baik pada satuan pendidikan yang ada di wilayah kewenangan Kemendikbudristek maupun di bawah Kemenag RI.
Mirisnya, rilis FSGI juga menyebut bahwa para pelaku tindak kekerasan seksual tersebut adalah orang-orang yang semestinya menjadi teladan dan menjadi pelindung bagi para anak didiknya. Sebanyak 50% kasus terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek, 36,36% kasus di satuan pendidikan di bawah Kemenag, sisanya (13,63%) terjadi di lembaga pendidikan informal, yaitu tempat mengaji di lingkungan perumahan.
Upaya Pemerintah
Kasus kekerasan seksual, baik di satuan pendidikan atau bukan, dari tahun ke tahun jumlahnya memang terus meningkat. Catatan Kemen PPPA menyebutkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak saja, pada 2022 mencapai 9.588 kasus. Padahal, tahun sebelumnya “hanya” ada 4.162 kasus. Wajar jika Indonesia disebut-sebut sudah masuk pada kondisi darurat kekerasan seksual.
Adapun khusus yang terjadi di satuan pendidikan, Komnas Perempuan menyebut, pada 2020, jumlahnya sekitar 88% dari total kasus yang diadukan. Sebanyak 27% di antaranya, terjadi di lingkungan perguruan tinggi. (kemendikbud[dot]go, 19-1-2023).
Pemerintah sendiri mengklaim telah mengambil berbagai langkah strategis untuk mengatasi problem mengerikan ini. Beberapa regulasi dikeluarkan demi menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dari kekerasan. Antara lain Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan (PPKS) di Lingkungan Satuan Pendidikan, serta Permendikbudristek No. 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi berikut pedoman pelaksanaannya.
Pada 9 Mei 2022, DPR bahkan sudah mengegolkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12/2022 yang sempat menuai kontroversi. Menyusul kemudian, Kemenag juga mengeluarkan Permenag No. 73/2022 tentang PPKS pada satuan pendidikan di bawah Kemenag.
Di luar aturan tersebut, pemerintah melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) juga mengeluarkan berbagai modul pembelajaran PPKS. Juga menyediakan laman portal informatif soal PPKS, dan melakukan berbagai kampanye masif yang melibatkan seluruh jajaran terkait dalam upaya penghapusan kekerasan seksual.
Pemerintah merasa sudah hadir dengan hanya mengeluarkan undang-undang atau membuat berbagai aturan. Sementara itu, aturan yang dikeluarkan—selain dituding oleh sebagian kalangan sebagai “UU pesanan”—juga dipandang tidak menyentuh akar persoalan, bahkan bisa menambah rumit permasalahan.
Akar Masalah
Jika kita telisik, ada banyak aspek yang menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak makin parah. Pertama adalah aspek sanksi yang tidak menjerakan. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar (Kompas, 6-1-2022).
Ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak sampai hukuman mati, melainkan hanya dipenjara, bahkan realisasinya bisa sangat ringan. Banyak kasus menguap begitu saja jika publik tidak mengawal ketat. Hanya dengan modus pemberian sejumlah uang terhadap keluarga untuk berdamai, kasus bisa “hilang” tanpa penyelesaian secara hukum. Hal ini menjadikan tidak adanya efek jera bagi pelaku dan selanjutnya ia maupun orang lain enteng saja melakukan kejahatan serupa karena tidak takut terhadap ancaman hukumannya.
Aspek kedua, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi kasus di antara para aparat ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi pelaku. Lantas, kalau definisinya saja berbeda, bagaimana keadilan hukum bisa terwujud?
Ketiga, buruknya pengaturan media massa. Pornografi-pornoaksi banyak bergentayangan di internet. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.
Keempat adalah buruknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.
Anak-anak pun tidak luput dari keburukan sistem ini. Mereka menjadi korban dari kerusakan sistem sekuler liberal yang diterapkan. Selama negeri ini menerapkan sistem sekuler, selama itu pula akan terus ada yang menjadi korban kejahatan seksual, termasuk remaja dan anak-anak.
Solusi Islam
Harus ada tindakan konkret untuk memutus rantai kejahatan, yaitu mengganti sistem sekuler dengan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam berasaskan akidah Islam sehingga keimanan dan ketakwaan menjadi dasar penyelesaian setiap masalah.
Sistem pendidikan Islam akan mewujudkan pribadi bertakwa sehingga tidak akan mudah bermaksiat. Sistem pergaulan Islam memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ada keperluan yang dibenarkan syarak. Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan nonmahram selain dalam ikatan pernikahan. Praktik prostitusi akan dihilangkan sehingga tidak ada istilah “prostitusi legal”. Semua praktik prostitusi adalah haram.
Sistem media massa dalam Islam mencegah adanya konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya kekerasan seksual. Sistem ekonomi dalam Islam pun menempatkan perempuan sebagai pihak yang dinafkahi sehingga mereka tidak perlu pontang-panting mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya sendiri hingga menempatkannya pada bahaya.
Pelaksanaan semua sistem tersebut akan mencegah terjadinya kekerasan seksual, termasuk terhadap anak. Jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas. Demikianlah, hanya dengan penerapan Islam kafah dalam wadah Pemerintahan Islam, kekerasan seksual terhadap anak bisa tercegah dan tersolusi hingga ke akarnya.