Langganan Bencana, Tak Jadikan Pelajaran Dalam Mitigasinya.

RadarSulawesi.Com – WHO pernah menyatakan bahwa Indonesia termasuk daerah rawan bencana dan tinggi terdampak bencana. Sebagai negara rentan bencana, seharusnya perlu memiliki sistem penanggulangan bencana yang baik. Analisis Bank Dunia (2018) menempatkan Indonesia di peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam.

Akan menjadi suatu hal yang ganjil jika kita tinggal di suatu wilayah yang rawan bencana, tetapi wilayah tersebut belum juga bisa beradaptasi dan siap siaga menghadapi bencana tersebut. Hal ini menunjukkan realitas upaya mitigasi bencana belum berjalan dengan maksimal.

Akhir tahun menjadi musim dimana curah hujan tinggi dan air laut mengalami pasang. BMKG sudah memprediksi dalam situs resminya di bmkg.go.id pada 3 Oktober 2024, menunjukkan adanya potensi terjadi fenomena La Nina pada akhir 2024. Secara umum, La Nina cenderung menyebabkan kondisi yang lebih basah di Indonesia, namun dampaknya dapat bervariasi di setiap wilayah.

BMKG melalui Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) Jakarta memantau keberadaan pusat tekanan rendah di selatan Nusa Tenggara sejak 3 Januari 2025. Sistem ini bergerak ke arah barat-barat daya dan mulai berkembang menjadi Bibit Siklon 97S pada 7 Januari 2025 di perairan Samudra Hindia, sebelah selatan Jawa Timur. (cnnindonesia.com, 9/01/2025)

Kondisi curah hujan yang tinggi pastilah akan menyebabkan banjir. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan bencana hidrometeorologi terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat (NTB). Dan akhirnya bencana banjir terjadi di semua pulau besar Indonesia, mulai ujung Sumatra hingga Papua. Teranyar, banjir besar melanda wilayah Cianjur dan Sukabumi Selatan. Bahkan, bencana yang terjadi di Sukabumi benar-benar tampak mengerikan.

Semua kejadian bencana tersebut tentu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Sepanjang 1 Januari hingga 10 Desember 2024 saja, Geoportal Data Bencana Indonesia menyebutkan lebih dari 5,5 juta orang harus hidup di pengungsian, 444 orang meninggal, 62 orang dinyatakan hilang, dan 1.130 orang mengalami luka-luka. Ratusan ribu bangunan juga mengalami kerusakan, di antaranya berupa 54.605 buah rumah dan 943 bangunan fasilitas umum.

Fakta-fakta diatas tentu menuntut adanya sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak, terutama pada pemerintah yang menjadi pengurus rakyatnya. Semestinya pemerintah melakukan upaya antisipasi dan mitigasi banjir dengan lebih serius. Sudah ada prediksi dari BMKG yang seharusnya dijadukan acuan dalam penanganam pencegahan agar tidak terjadi lebih parah. Namun sayangnya, setiap terjadi bencana pemerintah nyaris selalu gagap. Bahkan pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat oleh LSM, ormas, parpol, atau masyarakat biasa.

Kentalnya paradigma pembangunan sekuler kapitalistik membuat pejabat tidak memiliki sensitivitas dan keinginan serius untuk menyolusi perihal bencana sejak dari akarnya. Bahkan, kita dapati banyak kebijakan penguasa yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya. Kelemahan ini membahayakan nyawa masyarakat. Mitigasi lemah menunjukkan bahwa negara tidak menjadi raa’in (pengatur). Ini keniscayaan dalam sistem kapitalisme di mana negara hanya regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal, sehingga abai pada rakyat.

Bencana ini juga akibat pembangunan ala kapitalisme yang memberi ruang kebebasan bagi oligarki mengubah lahan serapan menjadi lahan bisnis, abai atas keselamatan rakyat dan kerusakan alam, karena hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Pernyataan Presiden tentang pembukaan lahan sawit (deforestasi) tidak membahayakan dapat dijadikan sebagai landasan pembukaan lahan, meski para ahli sudah menyatakan deforestasi akan mengakibatkan berbagai masalah termasuk terjadinya bencana.

Berbeda dengan paradigma sekularisme kapitalisme, Islam menetapkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat (raa’in) dan menjaga mereka (junnah). Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan. Islam mewajibkan negara agar menghindarkan rakyatnya dari kemudaratan, termasuk bencana.

Negara akan melakukan perencanaan matang dalam membangun kota/desa dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyat. Negara membangun kota berbasis mitigasi bencana. Islam telah mengatur konservasi agar ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Islam juga mengharuskan adanya pemetaan wilayah sesuai potensi bencana berdasarkan letak geografisnya, sehingga akan membangun tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, sehingga aman untuk manusia dan alam.

Dalam Islam, mitigasi tentu menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya sebagai rain dan junnah umat tadi, yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Adapun aktivitas menolong yang bisa dan biasa dilakukan oleh masyarakat secara swadaya, maka itu merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh agama dan tetap didorong oleh penguasa.

Para pemimpin dalam Khilafah juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang paham apa saja yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting. Mereka bukan orang-orang yang hanya pandai menjaga image dalam acara seremonial atau sekadar ikut meratap dalam doa bersama. Kondisi ideal seperti ini memang akan sulit diwujudkan dalam sistem sekarang. Paradigma kapitalisme sekuler neoliberal telah menjadikan kepemimpinan tegak di atas kepentingan pemilik modal, bukan tuntunan agama (Islam).

 

Oleh: drg Endartini (Pengamat Sosial Masyarakat)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *